Bandar Lampung (Forum) - Ratusan massa yang menggelar aksi unjuk rasa dalam rangka peringatan Hari Tani Nasional di depan Kantor Pemprov Lampung dan DRPD Lampung adalah menuntut pelepasan status tanah di Register I Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan.
Perwakilan dari Forum Masyarakat Register I Way Pisang,
Suyatno mengatakan, pihaknya mewakili dari masyarakat guna memperjuangkan
hak-hak dalam kejelasan meminta status tanah diberikan kepada masyarakat.
"Di sana itu adalah klaim kawasan hutan yang di
dalamnya ada desa-desa yang sudah definitif, bahkan di sana masyarakat sudah
tinggal lebih dari 50 tahun," kata Suyatno saat diwawancarai di Kantor
DPRD Lampung, Selasa (26/9).
Suyatno mengungkapkan, sejak tahun 2014 pihaknya telah
berkoordinasi dengan pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi, terkait
dengan tata cara penyelesaian konflik tanah dalam kawasan hutan.
Namun menurutnya, pemerintah daerah seolah buang badan
dengan menyatakan kebijakan penyelesaian konflik lahan adalah kewenangan
pemerintah pusat.
Kemudian pada tahun 2015 pihaknya telah memperjuangkan hak
masyarakat ke pemerintah pusat.
"Kami mendorong sampai ke kementerian, staf presiden
dan KPK berupaya semaksimal mungkin agar sengketa tanah ini bisa diselesaikan
segera dituntaskan, tidak berlarut dan tidak dibiarkan," ungkapnya.
Dia menjelaskan, upaya perjuangan di pemerintah pusat itu
menurutnya memberikan dampak bagi masyarakat yang tinggal di kawasan Register I
Way Pisang.
"Timbulnya Perpres Nomor 88 tahun 2017 itu juga efek
dari kita yang ikut andil, kemudian Perpres 86 tahun 2018 kita juga ada di
dalamnya dalam pembahasan di Jakarta," jelasnya.
Tak hanya itu, kata Suyatno, tujuh desa dari 16 desa di
kawasan Register I Way Pisang sudah masuk dalam tanah objek reforma agraria
(TORA) dalam program reforma agraria sejati.
"Kemudian tahun 2020, 7 desa sudah masuk lokasi
prioritas reforma agraria (LPRA) dan masuk dalam peta indikatif KLHK. Artinya
apa, desa-desa ini memang menurut pemerintah pusat sudah layak untuk
dibebaskan, sudah layak untuk dikeluarkan dari status tanah kehutanannya,"
kata dia.
Namun yang menjadi persoalan saat ini, dia membeberkan, pada
tahun 2022, tim terpadu datang ke kawasan Register I Way Pisang dan memberikan
rekomendasi kepada Kementerian Kehutanan dengan hanya memberikan izin
pengelolaan kawasan hutan.
"Padahal dalam skema penyelesaian konflik tanah dalam
kawasan hutan bisa dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan. Ini yang kita
tuntut, ada apa dengan pemda kita," bebernya.
Oleh karenanya, dia berharap pemerintah daerah bisa
mengajukan pelepasan status tanah terhadap desa-desa definitif yang sudah masuk
LPRA di kawasan Register I Way Pisang.
"Di sana ada hampir 25 ribu jiwa, karena di sana ada 16
desa. Luasnya untuk saat ini yang 7 desa ini sekitar 3.800 hektare itu masuk
Kecamatan Sragi, Ketapang dan Penengahan," tuturnya.
Dia menyatakan, pada bulan Agustus 2023 lalu, Kementerian
Kehutanan telah mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan masyarakat yang
tinggal di kawasan Register I Way Pisang hanya boleh melakukan pengelolaan
kawasan hutan.
"Kalau izin pengelolaan kami sudah 60 sampai 70 tahun
tinggal di sana, enggak ada izinnya pun kami bisa hidup dan desa kami
berkembang. Yang kami inginkan itu selesaikan tumpang tindih persoalan dalam
kawasan hutan ini, jangan dibiarkan terus," ungkapnya.
Sementara itu, DPRD Lampung menyatakan akan menindaklanjuti
apa yang menjadi tuntutan masyarakat.
Wakil Ketua Komisi I DPRD Lampung, Mardani Umar menyatakan,
pihaknya dalam waktu dekat akan menjadwalkan untuk mengundang tim terpadu dan
mempertemukan dengan perwakilan masyarakat guna menyelesaikan permasalahan yang
terjadi.
"Mudah-mudahan ini dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, Insya Allah dalam waktu dekat kami akan undang, duduk satu meja
dan mencari jalan yang terbaik bagi masyarakat," tandasnya. (FB-06)